Hal yang pertama menarik perhatian seorang pembaca untuk membeli buku yang dipajang di etalase adalah : judul, pengarang, dan resensi.
JUDUL : Memang Jodoh (judulnya tidak terlalu menarik bagi saya. Di tengah panen buku masa sekarang, hampir 50 % nya bergenre soal percintaan. Tidaklah menjadi suatu inovasi baru jika bertambah satu buku lagi yang membahas soal percintaan, bdk dengan Hunger Games yang idenya sungguh kreatif dan inovatif)
PENGARANG : Marah Rusli (Dilihat dari pengarang, mulailah agak tertarik. Marah Rusli? Benarkah Marah Rusli yang ‘itu’ atau ada Marah Rusli yang lain? Bisa saja pengarang dengan nama yang sama namun bukan pengarang legendaris Siti Nurbaya)
PANDANGAN PRIBADI
Memang Jodoh! Ternyata memang pengarangnya Marah Rusli, si penelur buku Siti Nurbaya. Buku dari sosok Marah Rusli merupakan jaminan tersendiri. Buku ini bisa dibilang ‘barang antik’, karena menggunakan gaya bahasa sastra lama yang sudah jarang sekali dipakai pada karangan saat ini. Siapa yang tidak tertarik untuk membeli buku dari pengarang fenomenal yang merupakan tonggak bagi karya sastra Indonesia?
Secara pribadi, sebenarnya saya tidak terlalu menyukai buku karangan Marah Rusli. Saya hanya membaca satu buku karangan Marah Rusli. Siti Nurbaya. Menurut saya, Siti Nurbaya terlalu berbelat-belit dan terlalu panjang ceritanya. Apalagi yang dibahas hanya soal kasih tak sampai, pemuda yang lari ke tanah seberang karena gadis pujaannya terpaksa menikah dengan sorang lelaki tua yang berkuasa. Endingnya pun sedih. Tokoh utama Siti Nurbaya meninggal, disusul kematian si pemuda setelah berperang dengan datuk tua yang menikahi gadis pujaannya. Si datuk pun meninggal. Semua meninggal sebagai ending? Big no banget buat saya!
Saya lebih menyukai Layar Terkembang Sutan Takdir Alisyahbana. Di buku itu, terasa sekali pesan moral perjuangan dan hebatnya tokoh wanita utama untuk mempertahankan keyakinan untuk tidak kawin jika dirasanya pasangannya tidak mampu mendukung perjuangannya untuk negara. Saya juga menyukai Salah Pilih karya Nur Sutan Iskandar, berupa pesan bahwa menuruti adat belum tentu menghasilkan sesuatu yang baik. Dalam Salah Pilih, Nur Sutan Iskandar pun membahas soal adat-istiadat Padang karena tanah kelahiran beliau sama dengan Marah Rusli.
Tapi melihat buku Memang Jodoh, jiwa antik saya bergejolak. Betapa rindunya mengenang gaya bahasa sastra lama yang sudah tidak pernah ditemui dalam buku sekarang. Rindu akan rima, puisi, dan pantun yang sarat dengan kata-kata puitis dan indah.
Selain itu, buku ini merupakan harta karun tak terduga bagi sastra Indonesia karena baru diterbitkan 50 tahun setelah Marah Rusli meninggal. Ini menambah daya tarik buku ini. Mengapa buku ini baru diterbitkan 50 tahun sesudahnya? Apakah ada bahasan dalam buku tersebut yang 'tabu' untuk jaman waktu itu?
Ditulis pada resensi singkat, buku ini merupakan semi autobiografi dari Marah Rusli itu sendiri. Seorang bangsawan Padang, yang dibuang dari tanah kelahirannya, karena menentang adat yang saat itu ‘memaksakan’ seorang lelaki untuk menikah hanya dengan orang Padang, dan untuk memaksakan pernikahan itu, segala cara diupayakan, mulai dari guna-guna, cerai, anjuran poligami, sampai ancaman akan dikucilkan dari keluarga besar. Dari kepahitan pada adatnya itu, lahirlah buku Siti Nurbaya. Tentunya membuat penasaran kan, bagaimana kisah hidup dan dalamnya kepahitan seorang Marah Rusli sehingga bisa menelurkan buku yang begitu berani seperti Siti Nurbaya? Buku pertama yang memberontak terhadap adat istiadat, namun pemberontakan itu dikemas dengan cara yang sangat elegan. Perang dalam bentuk tulisan.
Makin menelisik ke dalam, ternyata buku ini tidak hanya membahas soal jodoh saja. Terselip banyak sekali pesan moral dan pesan patriotik di dalamnya. Percintaan yang terlarang dalam buku itu merupakan jalan bagi Marah Rusli untuk membahas ke persoalan budaya, kecintaan kepada daerahnya namun muak akan adat istiadatnya dan perjuangan untuk bangsa.
UNGKAPAN YANG KEREN ABIS
"Bagaimana aku dapat bekerja dengan baik untuk bangsa dan negara, kalau aku selalu dibisingkan dengan perkara kawin saja? Sedangkan hatiku rasanya penuh cita-cita untuk memperbaiki yang belum sempurna dan menambah yang masih kurang" – Hamli
"… karena saya tetap hendak memegang keyakinan saya, yaitu tidak baik beristri banyak sehingga istri saya di Bogor tak perlu saya ceraikan, apalagi karena telah banyak budinya kepada saya. Tak tahu membalas guna namanya, apabila saya sekarang menceraikannya, sesudah saya mendapat pangkat yang tinggi berkat pengorbanannya. Hendak saya perlihatkan kepada orang tanah Jawa, bahwa orang Padang pun, pandai juga berterima kasih dan membalas guna orang, walaupun kepada perempuan suku bangsa lain sekalipun" - Hamli
Bagaimana tidak keren, jika melihat tulisan ini, ketika dihadapkan dengan fenomena jaman sekarang, dimana begitu banyaknya poligami, perselingkuhan, seks bebas, yang membuat justru hal-hal yang seharusnya lumrah malah menjadi jarang ditemui dan dianggap aneh? Pikiran suci dan nasionalis yang umum ditemui pada pejuang kita saat itu, dimana penjajahan masih bercokol dan tentunya kebebasan berpendapat malah susah, malah melahirkan suatu tekad dan jiwa yang mulia untuk bangsa dan negara. Dibandingkan jaman sekarang dimana begitu banyak kebebasan, tetapi kebebasan itu digunakan untuk kepentingan pribadi. Membuat akhlak menjadi rusak dan moral menjadi terperosok begitu dalam.
Yuk, langsung aja baca bukunya dan mari bernostalgia ke jaman sastra lama! Happy reading!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
C'mon! I ' m waiting your response ... /(^o^)/ /(^o^)/ /(^o^)/