Sabtu, 30 November 2013

Ketika Dokter Belajar Dari Kesalahan .

Setiap manusia pasti pernah salah. Itu harus diakui dan memang manusiawi. Sayangnya, kesalahan dalam pekerjaan saya seharusnya tidak diperbolehkan, karena bisa mengakibatkan morbiditas (kesakitan) bahkan sampai mortalitas (kematian). Namun kesalahan bisa saja terjadi.

Salah satu kesalahan fatal (menurut saya) yang pernah saya lakukan sebagai dokter baru terjadi minggu lalu. Pasiennya? Keluarga saya sendiri! Karena itu rasa bersalah lebih besar karena ada hubungan emosional dengan si pasien .. 
..............................................

Hari Minggu kemarin, tiba-tiba saya dipanggil ke rumah oma saya. Rumahnya memang tidak jauh. Hanya sekitar 2 menit berjalan kaki. Ternyata oma saya mengalami sakit perut. Sebelumnya, saya gambarkan dahulu kondisi oma saya.

Oma dalam keadaan terbaring di tempat tidur karena mengalami dua operasi dalam 1 bulan. Operasi pengangkatan tumor di otak dan operasi penggantian tulang panggul akibat tulang panggul yang patah. Saat ini, oma masih belum bisa menopang diri sendiri ketika duduk sehingga sebagian besar waktu dihabiskan dengan berbaring. Setahun sebelumnya, oma menjalani operasi pemasangan pen di tulang paha karena patah, dan sejak itu tidak bisa berjalan dan hanya duduk di kursi roda. Akibat kurangnya mobilitas dan terlalu sering duduk/berbaring, ada luka terbuka (ulkus dekubitus) di punggung oma karena terlalu lama berbaring yang sekarang dalam tahap penyembuhan. Karena luka itu, di saluran kencingnya dipasang kateter sehingga air kencing tidak mengotori luka yang ada ..

Pas sampai di rumah oma, ternyata oma sedang dimandikan. Sudah agak dongkol hati saya ke perawat yang menjaga. Mengapa memanggil saya sewaktu oma dimandikan, bukan setelah beres dimandikan! Agak lama juga dan selama itu saya menunggu. Sambil lihat jam, karena sebentar lagi waktunya saya pergi. Sudah ada janji dengan pasien, sementara saya belum siap2 sama sekali. Tadi langsung berangkat begitu ada telepon yang mengabarkan kondisi oma. Karena buru-buru, saya akhirnya periksa perut atas dengan stetoskop. Terdengar suara perut yang hiperaktif seperti orang diare. Langsung saya berpikir mungkin makanannya kurang bersih sehingga menimbulkan kondisi peristaltik usus meningkat agar  racun yang ada di makanan dikeluarkan. Makanya perutnya sakit karena hiperaktif usus.

Tanpa berkata apa-apa lagi, langsung saya keluar dari kamar oma dan menyampaikan diagnosis saya ke salah satu saudara yang ada di situ. Setelah itu, saya pamit pulang ke rumah saya untuk bersiap-siap karena sudah waktunya pergi ...Di tempat praktek tak ada kabar apapun, maka saya terus saja praktek. Setelah praktek pun, saya dengan santainya pergi menjenguk seorang teman yang baru melahirkan ..

Tak dianya, begitu sampai rumah ibu saya mengabarkan kalau ternyata masalah utamanya bukan di perut, tapi di salurang kencing. Si oma gak bisa kencing karena adanya sumbatan pada kateter. Di saat saya praktek, saudara memanggil dokter lain untuk memeriksa. Di saat saya memeriksa pasien lain, keluarga saya sendiri diperiksa dokter lain. Ironis rasanya!

Di saat itu, langsung timbul rasa bersalah. Ya, bagaimanapun, saya memeriksa dengan tidak teliti dan hanya selewat. Tidak memeriksa perut bagian bawah karena saat itu perut bagian bawah tertutup pampers. Peristaltik usus itu bisa terjadi karena bengkaknya kandung kemih sehingga menekan usus dan usus yang terganggu langsung berkontraksi.

Sejak saat itu, langsung saya mood crush .. Tidak enjoy lagi dalam memeriksa pasien (biarpun pasiennya bukan pasien umum, tetapi pasien kecantikan). Dalam hati, saya takut salah. Mekanisme defensi yang timbul adalah saya menarik diri dari oma saya dan memutuskan untuk tidak memeriksa dia lagi.

Tiga hari berlalu. Rabu pagi, saya sudah membuat perjanjian dengan teman. Saya hendak pergi ke Jakarta. Sudah sampai memakai sendal untuk pergi, tiba-tiba datang lagi 'panggilan sayang' itu. Ternyata oma mengalami sakit perut. Awalnya saya tidak mau memeriksa (masih ada ketakutan salah), tapi rasanya ada yang mengganjal kalau saya pergi bersenang-senang, semetnara oma kesakitan. Ya, saya lihat dulu sajalah kondisinya sebentar.

Pas sampe sana, saya melakukan pemeriksaan. Karena tidak mau mengulang kesalahan, kali ini saya memeriksa lebih teliti. Masalahnya sama, gak bisa keluar air kencingnya lewat kateter. Di tengah kebingungan itu, tercetuslah untuk ganti kateter, karena toh kateternya sudah hampir 2 minggu. Namun, saya agak kurang gapah mengganti, dan buru-buru mau pergi, maka dipanggilah suster yang biasa mengganti kateter kencingnya oma.

Sudah memeriksa, air kencing dan sumbatan sudah disedot sehingga kandung kemih agak kempes. Tapi oma masih kesakitan. Sudah mau saya tinggal, namun teman saya bilang perginya ditunda saja. Toh keadaan oma lebih penting. Ok, jadi saya tinggal dan saya bilang, biar saya yang mengganti kateternya. Menunggu suster biasa lama, karena rumahnya di kota lain dan pergi ke rumah oma dengan angkutan umum.

Buru-buru menyuruh orang membeli kateter ke Toko Alat Kesehatan yang terdekat. Sementara itu, dalam hati saya deg-degan juga. Pasang kateter itu salah satu tindakan beresiko. Bisa terjadi jebol saluran kencingnya, adanya sumbatan, salah masuk lubang kencing (bisa masuk vagina juga) pada wanita. Apalagi yang dihadapi keluarga sendiri, emosi pun turut berperan. Tapi melihat oma begitu kesakitan, rasanya gak tega juga. Y sudah diberanikanlah diri..

Mulailah prosesnya berjalan. Pertama saya melepas kateter yang ada. Berhasil! Melepas jelas lebih gampang daripada memasang. Hanya tinggal mengempeskan balon, lalu tarik keluar kateternya. Namun air kencing gak keluar. Wajar, karena sudah saya sedot waktu awal sekiar 350 cc. Ditunggu 15 menit, gak ada air kencing. Mulailah pemasangan ikateter. Dalam hati saya terus berdoa .. aduh, mudah-mudahan bisa. Sudah 3 tahun gak pernah masang kateter lagi. Sambil browsing cara pasang kateter sebagai pengingat.

15 menit berlalu ... saatnya memasang. Dari awal saya sudah berkata, "Mati gue!" Yang lubangnya kok deketan gini? Bingung mana lubang kencing, mana lubang vagina. Secara harusnya lubang kencing letaknya d atas lubang vagina, dan lebih kecil, tapi kok lubang ini keknya nyatu? Udah mulai keringet dingin. Tapi udah terlanjur, dicoba masukin ke lubang yang atas. Laa, air kencing gak keluar? Bener gak ini lubangnya? Kalo memang masuk ke kandung kemih, harusnya air kencing keluar. Kalau salah masukkk ...(saya tidak berani berpikir lebih jauh)

Dilepas lagi .. Dicari lagi lubangnya. Si oma disuruh minum ... Mulai deh pelajaran anatomi diingat kembali. Rasanya bener lubang yang ini, tapi karena keadaan lubang berlipat-lipat (jadi gak jelas seperti di buku anatomi) dan kaki si oma yang gak bisa mengangkang, jadi gak jelas. Sempet nyesel, napa tadi sok jago mau masang. Sekarang dah gak mungkin manggil si suster yang biasa masang.

Doa dulu, bersihkan dulu ujung kateter yang mau dimasukkan dengan betadine agar steril, dicoba cari lagi lubangnya. Dan .. Puji Tuhan .. tiba-tiba terlihat 2 lubang dengan jelas. Satu lubang di atas lubang yang kedua, birpun posisinya di atas pinggir, bukan atas tengah (barat daya, bukan utara). Tapi muncul keyakinan dalam diri bahwa itu lubang yang benar. Yup, pas setelngah masuk, mulai keluar air kencing. Saking leganya, sudah cuek saja ketika air kencing dengan derasnya mengalir mengenai tangan (ditampung di piring ginjal). Cuma agak mual karena di depan air kencing dan pampers yang berbau pub.

Tapi beneran, lega banget ... air kencing keluar .. tinggal mompa ban supaya kateternya ketahan di kandung kemih, gak turun ke saluran kemih ... Mompanya pun harus sesuai takaran airnya, kalau enggak tuh balon bakal pecah di kandung kemih ...

Fiuhh, selesai juga. Juntai saya. Tapi leganya ituu ... Saya merasa sudah memperbaiki kesalahan. 
Sejak itu, saya jadi lebih enjoy menangani pasien. Saya pun tidak merasa tidak enak lagi dengan oma.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

C'mon! I ' m waiting your response ... /(^o^)/ /(^o^)/ /(^o^)/