Kamis, 10 Agustus 2017

When Life is Tasteless At All

Hidup terasa manis jika kita sedang dalam keadaan bahagia, entah karena promosi pekerjaan, order baru, mendapat gelar baru, berhasil menyelesaikan suatu tender, ataupun karena peristiwa bahagia dalam keluarga.
Hidup terasa pahit ketika kita gagal mendapatkan sesuatu, kalah dalam kompetisi, atau baru mengalami kematian orang terdekat.
Hidup terasa asam ketika kita berkelahi dengan orang di jalanan, kesal karena macet, keki karena ditikung teman kerja.
Dan hidup terasa gurih ketika kita sedang excited dan bersemangat, ketika mencoba pengalaman baru, suasana baru, kehidupan baru.
Tapi bagaimana kalau hidup mulai tidak berasa apa-apa? Ketika apa yang semua kita lakukan terasa hampa, kosong, tanpa semangat?

Kalau dalam istilah kejiwaan namanya abulia. Kondisi dimana tidak ada semangat untuk melakukan apapun. Dan ini yang terjadi pada diri saya. Apakah gejala dari depresi? Saya rasa bukan. Saya pernah mengalami depresi (dan untungnya, belajar kedokteran jiwa sehingga bisa mengantisipasinya). Saya pikir lebih karena tipe kepribadian saya yang melankolis. Memang sudah dasarnya begini. Apa-apa terlalu dipikirin, apa-apa dirasa, jadinya kejelimet sendiri.

Padahal semua tujuan saya sebelum umur 30 tahun tercapai. Mobil, rumah, gelar baru. Semua sudah saya dapatkan. Tapi ketika semua sudah di tangan,  malah rasanya kosong. Hidup jadi hampa. Lifeless. Saya pun bertanya-tanya mengapa bisa begini.

Selama 5 tahun ini, saya mengeluarkan segala upaya dan tenaga untuk mencapai tujuan ini itu. Mungkin karena itu. Ketika sampai pada suatu titik dimana semua tujuan tercapai dan tidak perlu upaya lagi, terjadi adrenalin fall. Perasaan excited dan bersemangat untuk mencapai tujuan sehingga adrenalin mengalir kencang mulai menurun drastis. Jika seperti ini,  apa yg harus dilakukan? Ini hasil pengalaman selama 3 bulan mencari cara mengubah lifeless ini menjadi life to the max tanpa perlu adanya adrenalin flow.


Take a breath. Kadang kita terlalu sibuk dengan rutinitas, jadi hidup terasa monoton. Tiap hari melakukan hal yang sama, aktivitas yang sama; hidup jadi tidak menarik lagi. Saatnya take a breath in a holiday. Benar-benar holiday 100 persen dimana kita missing out. Non aktifkan hp, agar tidak ada “gangguan” dari rutinitas kita. Cari suasana baru, nikmati makanan setempat, aktivitas setempat, sampai tempat tidur dan kamar yg berbeda. Jangan membuat aktivitas holiday yang terlalu padat. Aktivitas ini itu ok saja, tapi ingat bahwa tujuan holiday untuk istirahat dan lepas dari rutinitas.

Sejujurnya, tidur paling nyaman, pulas, tanpa banyak pikiran saya alami ketika sedang traveling di Bangkok. 1 hari saya habiskan hanya untuk tidur.  Ditotal, 17 jam saya pakai waktu di Bangkok untuk tidur. Merasa sayang padahal bisa melakukan hal lain di kota yang mungkin hanya dikunjungi sekali seumur hidup? Tidak juga! Saat bangun dari 17 jam hibernasi, saya merasa benar-benar tercharge.

Missing out. Terkadang yang bikin kita merasa lifeless itu “gangguan” dari rekan kerja, customer, sampai pada percakapan grup yang banyak itu. Seharusnya kita meluangkan waktu untuk lepas dari “gangguan” itu, namun tetap saja, merasa FOMO (Fear of Missing Out). Takut ketinggalan berita atau karena terlalu kepo. Padahal dunia kita dapat terus berputar tanpa kita perlu tahu segala sesuatu yang terjadi. Dan ternyata kita tetap bisa hidup tanpa chatting di hp atau nimbrung dalam grup kok!

Take alone time with God and ourself. Jadi ingat satu ayat ini dari Alkitab. “Marilah kepadaku, yang letih lesu dan berbeban berat. Aku akan memberi kelegaan padamu.” Berbeban berat kaga, letih lesu iya. Jadi, saya lebih banyak berkomunikasi dengan yang di Atas. Lebih banyak menghabiskan waktu membaca firman-Nya. Belajar untuk duduk diam di hadirat-Nya, tanpa pikiran melayang ke pasien A, teman B, aktivitas C.

Learn to stand still, not running. Belajar untuk diam dalam suatu waktu. Karena terlalu terbiasa berlari dalam hidup, ketika berhenti berlari, saya merasa ada yang hilang. Perlu sekali namanya untuk “mengasah gergaji” (meminjam istilah "Seven Highly Effective Habits for Teen" by Sean R Covey) sebelum berlari lagi.  Mencari tujuan baru lagi.. Dan saya lagi belajar untuk “mengasah gergaji”. Belajar take a rest.

Awalnya melakukan semua itu sulit, tapi saya membiasakan diri untuk melakukan semua itu. Belajar mengenal diri sendiri lebih dalam, menemukan diri yang hilang, dan belajar untuk lebih santai dalam memandang hidup. Dengan sendirinya, kebiasaan itu mulai merasuk sampai akhirnya saya bisa menikmatinya.

Dan sekarang …. Saya siap untuk berlari lagi … Untuk menggapai tujuan baru … dengan semangat dan keadaan yang lebih baik dari sebelumnya. Welcome the next level me!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

C'mon! I ' m waiting your response ... /(^o^)/ /(^o^)/ /(^o^)/